Salah satu sesi di acara XL Net Rally pada hari Sabtu, 23 Juli lalu, adalah kunjungan ke Toko Oen. Tempat ini disebut legendaris, walaupun demikian saya baru pertama kali mengunjungi Toko Oen. Di setiap kunjungan ke keluarga di Semarang beberapa tahun lalu belum pernah mendapat rujukan tentang toko tsb.
Sambil menikmati hidangan traktiran XL, saya bercakap-cakap dengan perwakilan komunitas narablog Semarang, Loenpia, dan satu lagi undangan dari Surabaya. Loenpia disebut cukup aktif: dari sekitar seribu anggota yang terdaftar di milis mereka, dengan persyaratan yang longgar termasuk tidak harus berdomisili di Semarang, partisipan aktif di kegiatan-kegiatan berkisar dua puluh orang. Jika dapat bertahan dengan jumlah sekitar itu per kegiatan, itu sudah bagus sebagai komunitas. Jika pun berganti-ganti peserta kegiatan justru bagus, berarti aktivis beragam.
Amril T Gobel yang bulan-bulan lalu sempat berkeliling ke beberapa kota mengikuti acara IdBlogNetwork menyebut antusiasme kegiatan menulis blog masih terlihat di kota-kota besar kita, umumnya di ibukota provinsi. Di ujung timur ada Anging Mamiri di Makassar, salah satu kota blog awal yang mencuat di luar “sabuk kota kreatif” Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Denpasar.
Di Sumatra saya ingat beberapa tulisan Adham Somantrie tentang Awak Medan saat dia harus tinggal di Medan saat mengerjakan proyek, Palembang dengan Wongkito, komunitas Bandar Lampung saya kenal lewat Geri Sugiran A.S. narablog yang mondar-mandir Bandar Lampung–Sukabumi, kota asalnya. Amril juga sempat menyebut aktivitas di Padang, Sumatra Barat, yang sempat menjadi tanda tanya saya mengingat kota ini salah satu ikon besar sastra klasik negeri ini.
Bagaimana dengan Bandung? Saya amati sifat kota migran dengan mahasiswa sebagai basis kegiatan blog masih terasa, setidaknya dari regenerasi komunitas blog di Bandung. Sejak Bandung Blog Village (BBV) kemudian Batagor, aktivitas menjadi semarak saat partisipan berada masa yang tepat untuk bertemu sebagai mahasiswa dan langsung menurun drastis begitu mereka harus meninggalkan Bandung. Angkatan berikutnya tidak selalu dapat melanjutkan “masa yang tepat” tsb. Untuk sekarang, saya sempat mendengar Bloofer (Blog of Friendship) dan kabarnya ada juga kegiatan di luar Kota Bandung, barangkali dua Kabupaten Bandung di sekitar.
Yang lebih riuh terdengar adalah pertemuan komunitas Koprol, yang
tampaknya mendapat tempat berbasis kampus, semisal Universitas
Pendidikan Indonesia (UPI) di Utara, Sekolah Tinggi Agama Islam
Negeri di Timur, Institut Teknologi Telkom di Selatan. Sentimen
kelompok urban yang diangkat Koprol menjadi potensi acara-acara
mereka berskala nasional.
Untuk Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jaya, tampak lebih terwakili kawasan Jabodetabek, jika diperhatikan kegiatan komunitas di Bekasi dan Depok. Jakarta adalah tempat mencari nafkah, sedangkan menulis blog dan berkumpul tetap dilakukan di tempat tinggal, yaitu daerah sekitar.
Di era globalisasi dan digital ini, isu geografis tidak terlalu relevan. Apalagi komunitas narablog kini sudah semakin matang, topik yang menjadi pengikat, bukan lokasi geografis. Itu opini saya.
Sebenarnya sejak awal kehadiran blog sudah global, toh tempatnya juga di web. Namun karena untuk sebagian pihak, rasa berkelompok, saling menyemangati itu masih dianggap penting adanya, dibentuklah komunitas. Begitu turun di lapangan, faktor geografi jadi penting, agar lebih praktis.
akses internet tidak semudah saat ini pada 10 tahun lalu, makanya 10 tahun lalu itu isu geografis masih dominan, karena para narablog ini acapkali bertemu luring untuk diskusi yang intens. saat ini, diskusi intens sudah dapat difasilitasi dengan internet penuh, tanpa perlu temu wajah luring.
sepertinya lokalitas blogger kembali menarik, karena adanya kepentingan penguatan content local