Menjelang akhir dasawarsa 1980-an, saat pengolah kata mulai digunakan sejumlah terbatas pemilik komputer pribadi, saya ingat Kompas Minggu pernah menurunkan tulisan khusus tentang perangkat lunak tsb. Dengan foto monitor komputer menampilkan WordStar, tulisan utama di Kompas Minggu menyajikan kemudahan penggunaan pengolah kata, namun di sisi lain juga dipilihkan seorang penulis sohor yang menolak penggunaan pengolah kata. Dalih yang digunakan: aneka fasilitas pengolah kata menjadikannya sibuk mengotak-atik fasilitas tsb. dan mengurangi proses kreatif penulisan.
Jangan heran: mendapati sebuah alat bantu yang sangat memudahkan perataan paragraf di sisi kiri dan kanan sudah mencengangkan saat itu. Saya yang tidak pernah merasakan mesin ketik listrik –dan hanya berbekal cara yang diajarkan di mata pelajaran mengetik untuk mendapatkan paragraf rata kanan– seperti melompat jauh di depan WordStar. Ada hal benar yang disampaikan penulis di atas: kemudahan mengetik dan mengoreksi menjadikan proses “berpikir matang sebelum jari mengetik” berkurang. Yang penting ketik dulu. Mirip dengan penggunaan kamera digital hari-hari ini: bidik, jepret, jika perlu dikoreksi dapat diulang atau dipilihkan dari sekian jepretan; dan bahkan penyuntingan setelah sesi pemotretan pun menolong.
Beberapa hari ini alat-alat bantu dalam bentuk layanan web yang disebut “berkaitan dengan produktivitas” menggoda. Kehadiran iPhone/iPad, perangkat Android, dan dua peramban modern Firefox dan Chrome, membuka peluang akan alat-alat bantu yang fleksibel dijalankan di aneka lingkungan tsb. Berikutnya konsep komputasi awan (cloud computing) untuk penyimpanan data dan setelan pilihan pengguna menjadikan cita-cita “komputer jaringan” (network computer) terealisasi. Data kita tersimpan “entah di mana” dan semua transaksi melintas seolah mengelilingi dunia.
Sangat praktis, itu pertama. Yang kedua: banyak fasilitas baru yang elok, terkoneksi antarlayanan, dan berlomba menjanjikan. Hanya untuk menulis catatan ringkas (ingat impian Borland pada era SideKick yang memukau dunia dengan konsep TSR?), di Jolicloud saya terbaca Evernote, Catch, SimpleNote, SpringPad, dan tentunya masih ada yang lain. Teknologi antarmuka yang lebih baru dan desain web yang terus berkembang menjadikan inovasi alat-alat bantu berukuran kecil dan berjalan ringan terus berkembang. Kendati muncul pertanyaan, Apa perbedaannya dengan Google Docs?, alat-alat bantu baru ini lebih menekankan pada kecepatan (karena mereka lebih ringan) dan kegunaan yang lebih spesifik.
Mengasyikkan kala membuat akun di banyak situs, menghubungkan satu situs dengan yang lain (Facebook, Yahoo!, dan Google menjadi gerbang otorisasi), berikutnya kesibukan ini tanpa terasa menyita waktu tambahan dan yang perlu disadari juga: sebenarnya di situs yang mana kita hendak “berkegiatan”? Rekaman kegiatan terpasang di salah satu situs mini karena praktis, namun di sisi lain keinginan agar terintegrasi dengan situs besar mengikuti kelengkapan layanan mereka dapat menjadi dilema.
Buat saya masih ada tambahan godaan: situs-situs mini dan lincah itu biasanya bertampilan elok pula. Misi mereka yang spesifik dan sempit tampaknya memudahkan mereka untuk mempercantik diri lewat desain web yang mengikuti arahan bakuan W3C.
Buat saya masih ada tambahan godaan: situs-situs mini dan lincah itu biasanya bertampilan elok pula. Misi mereka yang spesifik dan sempit tampaknya memudahkan mereka untuk mempercantik diri lewat desain web yang mengikuti arahan bakuan W3C.
Wunderlist, aplikasi yang sangat banyak membantu saya, di tempat tinggal, tempat kerja, dan di jalan.
Tulisannya khas Mas Amal sekali. Pada beberapa bagian saya kesulitan mengikutinya karena perbedaan zaman 🙂
Loh, rasanya kita baru kemarin sore bertemu di salah satu ruangan di kampus di acara blog dan jurnalistik? Saya masih merasa perbedaan usia kita tidak signifikan, kok… 😉
Err… Mas Amal gak salah orang kan? 😉 Err… barangkali karena kecepatan perubahan sebelum era GUI dan pasca GUI itu menjadi penanda batas usia kita.